MAKALAH
“ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN
HIPERSENSITIVITAS”
Diajukan guna memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah KMB II
Dosen Pengampu:
Kharis Yusman,
S.Kep.Ns

Disusun oleh:
1.
Eka Hidayati (012.005)
2.
Eriga Damayanti
O. (012.007)
3.
Ika Rifikoh (012.012)
4.
Rif’atun
Milatin (012.024)
AKADEMI KEPERAWATAN ALHIKMAH 2 BREBES
BENDA SIRAMPOG BREBES
2014
|
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
senantiasa selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN HIPERSENSITIVITAS” yang dapat selesai tepat pada waktunya.
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah KMB II. Dalam penyusunan makalah ini tak lupa pula kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik berupa bimbingan, dorongan do’a, serta kerja sama yang baik dari
semua pihak.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, untuk itu kami meminta kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Benda, Februari
2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian..................................................................................... 3
B. Etiologi......................................................................................... 3
C. Tanda dan
Gejala.......................................................................... 4
D. Patofisiologi.................................................................................. 5
E. Pathway........................................................................................ 6
F. Klasifikasi..................................................................................... 7
G. Terapi............................................................................................ 11
H. Diagnostik.................................................................................... 11
I. Pemeriksaan
Penunjang................................................................ 12
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian.................................................................................... 14
B. Diagnosa
Keperawatan................................................................. 14
C. Intervensi...................................................................................... 15
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 20
B. Saran............................................................................................ 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki
imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas
spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel
limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila
mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat
limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke
tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur,
maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan
imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar
pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan
terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan
berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat
timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan
berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi
menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga
menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa
gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin.
Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan
sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek
lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam
lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk
mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga
terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi
yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring
dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme
genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan
terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan
laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai dengan
penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri
menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan
ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga
pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat
meningkat melebihi normal.
B.
Tujuan
Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar
mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan mengerti tentang asuhan keperawatan
dengan gangguan hipersensitivitas.
2. Tujuan Khusus
Makalah
disusun bertujuan agar :
a. Mahasiswa mengetahui pengertian
hipersensitivitas
b. Mahasiswa mengetahui Etiologi
hipersensitivitas
c. Mahasiswa mengetahui tanda dan
gejala hipersensitivitas
d. Mahasiswa mengetahui Patofisiologi
hipersensitivitas
e. Mahasiswa mengetahui pathway hipersensitivitas
f. Mahasiswa mengetahui klasifikasi hipersensitivitas
g. Mahasiswa mengetahui cara
pemeriksaan, penatalaksanaan hipersensitivitas
h. Mahasiswa mengetahui asuhan
keperawatan pada hipersensitivitas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah
kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam
bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik.
Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
B.
Etiologi
Faktor
yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
- Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional
(misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx)
maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan
penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi
makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi
ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum
matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
- Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik
(dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari,
olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan
reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%;
kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat
tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
C.
Tanda
dan Gejala
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai
suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat
(misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis
sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems
kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi
paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat
persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain
itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus,
kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi
dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila
antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti
di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa
kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan
granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas
tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema,
makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. kejang perut, mual
6. neuritis optic
7. glomerulonefritis
8. sindrom lupus eritematosus sistemik
9. gejala vaskulitis lain
Manifestasi
klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat
merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun
Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri
perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis,
pruritus, gatal, demam, gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan
pembengkakan bibir
D.
Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya
alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi
makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak
gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda
itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan
memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B
untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya
antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi
2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi
sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama
dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga
menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung
mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin
dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh
melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada
kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal
dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang
menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan
kematian
E.
Pathway

Sel-sel
radang Reaksi






Merangsal
sel B



Selekat
pada sel mast
Histamin
bertambah


pada kulit, dan dermatitis.


Paru-paru : asma
![]() |
![]() |
Anafilatik syok : TD , kesadaran
, kematian
F.
Klasifikasi
- Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas
tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi
ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan
saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam,
mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara
15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,
neutrofil, dan eosinofil.
Uji
diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I
adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total
dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab
alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda
terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar
langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat
ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan
anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G
(IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa
alergi tertentu.
- Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas
tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin
E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas
dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe
dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan
senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu
obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah
merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan
dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi
dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
- Hipersensitifitas tipe III
Hipersensitivitas
tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya
pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam
jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi
normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang,
kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran,
atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi
antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks
antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita
penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar
pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam
bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis
kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan
antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya
artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam
dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya
kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi
Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan
sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei
pada paru-paru pembuat keju.
- Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas
tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk
aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag
dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas
tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal
timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tipe
|
Waktu
reaksi
|
Penampakan
klinis
|
Histologi
|
Antigen
dan situs
|
Kontak
|
48-72
jam
|
Eksim (ekzema)
|
Limfosit,
diikuti makrofag; edema epidermidis
|
Epidermal
(senyawa organik, jelatang atau poison ivy,
logam berat , dll.)
|
Tuberkulin
|
48-72
jam
|
Pengerasan
(indurasi) lokal
|
Limfosit,
monosit, makrofag
|
Intraderma
(tuberkulin, lepromin, dll.)
|
Granuloma
|
21-28
hari
|
Pengerasan
|
Makrofag, epitheloid dan
sel raksaksa, fibrosis
|
Antigen
persisten atau senyawa asing dalam tubuh (tuberkulosis, kusta, etc.)
|
Mekanisme
Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis
Tipe
|
Mekanisme
Imun
|
Gangguan
Prototipe
|
|
1
|
Tipe
Anafilaksis
|
Alergen
mengikat silang antibody IgE ® pelepasan amino vasoaktif dan
mediatorlain dari basofil dan sel mast rektumen sel radang lain
|
Anafilaksis,
beberapa bentuk asma bronchial
|
2
|
Antibodi
terhadap antigen jaringan tertentu
|
IgG
atau IgM berikatan dengan antigen pada permukaan
sel fagositosis sel target atau
lisis sel target oleh komplemen atau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel
yang bergantung antibodi
|
Anemia
hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus
vulgaris
|
3
|
Penyakit
Kompleks Imun
|
Kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan ® komplemen menarik perhatian
nenutrofil menjadikan pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen,
dll
|
Reahsi
Arthua, serum sickness, lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu
glumerulonefritis akut
|
4
|
Hipersensivitas
Selular (Lambat)
|
Limfisit
T tersensitisasi pelepasan sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh
sel T
|
Tuberkulosis,
dermatitis kontak, penolakan transplant
|
G.
Pemeriksaan
Penunjang
- Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
- Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
- IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
- Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
- Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
- Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
- Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
- Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
H.
Diagnostik
- Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
- Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
- Reaksi psikologi
I.
Terapi
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
- Menghindari allergen
- Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang
termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ).
Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya
selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen
inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34
jam.
b. Antihistamin
Obat
dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin
sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog
kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini
tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk
pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau
ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid
adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena
yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai
pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi
mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
- Imunoterapi
Imunoterapi
diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E
atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin
dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit
individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih
banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang
mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang
diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan
tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun
- Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik
atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk
urtikaria atau angioedema.
BAB III
ASKEP HIPERSENSITIFITAS
A. Pengkajian
1.
Data Demografi
2.
Riwayat
Kesehatan Sekarang
a)
Alasan
masuk rumah sakit:
b)
Keluhan
utama
c)
Kronologis
keluhan
3.
Riwayat
Kesehatan Masa Lalu
4.
Riwayat
Kesehatan Keluarga
5.
Riwayat
Psikososial dan Spiritual
Analisa
Data
1. Data Subjektif
a. Sesak nafas
b. Mual, muntah
c. Meringis, gelisah
d. Terdapat nyeri pada bagian perut
e. Gatal – gatal
f. Batuk
2. Data objektif
a.
Penggunaan
O2
b.
Adanya
kemerahan pada kulit
c.
Terlihat
pucat
d.
Pembengkakan
pada bibir
e.
Demam
( suhu tubuh diatas 37,50C)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2. Hipertermi
berhubungan dengan proses inflamasi
3. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal, intrademal sekunder
4. Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
5. Nyeri akut
berhubungan dengan agen cedera biologi (allergen, ex: makanan)
C. INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan
dengan terpajan allergen
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15
menit. diharapkan pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan
kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
a.Frekuensi pernapasan pasien normal
(16-20 kali per menit)
b.
Pasien
tidak merasa sesak lagi
c.Pasien tidak tampak memakai alat
bantu pernapasan
d.
Tidak
terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan
dan ekspansi paru. Catat upaya
pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan
terjadi peningakatan kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung
derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis
atau nyeri dada pleuritik.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat
adanya bunyi napas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura.
Rasional
: Bunyi napas menurun/ tak ada bila
jalan napas obstruksi sekunder terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas
kecil (atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan
pernapasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah
posisi. Bangunkan pasien turun dari tempat tidur dan ambulansi sesegera
mungkin.
Rasional
: Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan. Pengubahan
posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda
sehingga memperbaiki difusi gas.
4. Observasi pola batuk dan karakter
secret.
Rasional
: Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah
dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
5. Berikan oksigen tambahan
Rasional : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja
napas
6. Berikan humidifikasi tambahan, mis:
nebulizer ultrasonic
Rasional:
Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran secret untuk
memudahkan pembersihan.
2. Hipertermi berhubungan dengan
proses inflamasi
Tujuan : setelah diberikan askep selama
1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien menurun.
Kriteria hasil :
a.
Suhu
tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
b.
Bibir
pasien tidak bengkak lagi
Intervensi :
1. Pantau suhu pasien ( derajat dan
pola )
Rasional : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit
infeksius akut.
2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau
tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
Rasional
: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan mendekati
normal
3. Berikan kompres mandi hangat,
hindari penggunaan alcohol
Rasional
: Dapat membantu mengurangi demam
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan infalamasi dermal, intrademal sekunder
Tujuan : setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan
mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
a.
Tidak
terdapat kemerahan, bentol-bentol dan odema
b.
Tidak
terdapat tanda-tanda urtikaria, pruritus dan angioderma
c.
Kerusakan
integritas kulit berkurang
Intervensi
:
1. Lihat kulit, adanya edema, area
sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
Rasional
: Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2. Hindari obat intramaskular
Rasional
: Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan
predisposisi untuk kerusakan kulit
4. Kekurangan volume cairan berhubungan
dengan kehilangan cairan berlebih
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x
24 jam diharapkan kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
a.Pasien tidak mengalami diare lagi
b.
Pasien
tidak mengalami mual dan muntah
c.Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
d.
Turgor
kulit kembali normal
Intervensi
:
1. Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan
suhu/ demam memanjang, takikardia, hipotensi ortostatik.
Rasional
: Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan
kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan
takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.
2. Kaji turgor kulit, kelembaban
membrane mukosa (bibir, lidah).
Rasional
: Indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane mukosa
mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen.
3. Monitor intake dan output
cairan
Rasional
: Mengetahui keseimbangan cairan
4. Beri obat sesuai indikasi misalnya
antipiretik, antiemetic.
Rasional
: Berguna menurunkan kehilangan cairan
5. Berikan cairan tambahan IV sesuai
keperluan
Rasional
: pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat
memperbaiki atau mencegah kekurangan.
5. Nyeri akut berhubungan dengan
agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri pasien teratasi
Kriteria hasil :
a.
Pasien
menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
b.
Wajah
tidak meringis
c.
Skala
nyeri 0
d.
Hasil
pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu :
1)
Tekanan
darah
: 140-90/90-60 mmHg
2)
Nadi
: 60-100 kali/menit
3)
Pernapasan
: 16-20 kali/menit
4)
Suhu
: Oral (36,1-37,50C)
Rektal
(36,7-38,10C)
Axilla
(35,5-36,40C)
Intervensi
:
1.
Ukur
TTV
Rasional : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2.
Kaji
tingkat nyeri (PQRST)
Rasional : Untuk mengetahui faktor
pencetus nyeri
3.
Berikan
posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
Rasional : memberikan rasa nyaman kepada pasien
4.
Ciptakan
suasana yang tenang
Rasional : membantu pasien lebih
relaks
5.
Bantu
pasien melakukan teknik relaksasi
Rasional : membantu dalam penurunan
persepsi/respon nyeri. Memberikan kontrol situasi meningkatkan perilaku
positif.
6.
Observasi
gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah, palpitasi,
keinginan berkemih.
7.
Rasional : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala
nyeri yang dialami pasien.
8.
Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian analgesic
Rasional : Analgesik dapat meredakan
nyeri yang dirasakan oleh pasien.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hipersensitivitas
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi
sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada
kotak-ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi
. Anafilaksis merupakan respon klinis terhadap suatu reaksi imunologi
cepat (hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah repon berlebihan system
imun yang melibatkan seluruh tubuh. Tipe anfilaksia ada beberapa yaitu : Local,
reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada
tempat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi
jarang fatal. Sistemik, reaksi sistemik terjadi
dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam system organ berikut ini
: kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal dan integument .
B.
Saran
Hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipersensitivitas.
1. Menghindari zat yang dicurigai
sebagai allergen
2. Melakukan tes alergi dan melihat
riwayat keluarga serta riwayat frekuensi serangan terjadi.
3. Menjaga kelembaban ruangan dengan
mengatur sirkulasi angin dan udara
4. Menjaga kebersihan pakaian dan
mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali
5. Konsultasi dengan dokter dan
melakukan tes alergi untuk mengetahui allergen-allergen yang harus dihindari
DAFTAR PUSTAKA
a.
Brunner
& Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3,
Jakarta:EGC..
b.
Carpenito
LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.
c.
Price
& Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi
6.Jakarta:EGC.
d.
Emirzanur
Wicaksono http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/.
Hipersensitivitas. 2013
The Wynn Hotel Las Vegas - Mapyro
BalasHapusFind the best prices on 서산 출장안마 The Wynn Hotel Las Vegas in Las Vegas and Rooms: 1 서산 출장안마 - 김포 출장마사지 24 of 59 당진 출장마사지 — Amenities: Valet parking 문경 출장안마 is free. Room Windows: Windows Do Open